Rabu, 25 November 2015



SEJARAH POLITIK DALAM ISLAM






dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (terj. Q., s., al-Aâm/6:165).



erbicara tentang sejarah politik dalam Islam harus melihat dokumen al-Quran. l-Quran memuat prinsip-prinsip politik berupa keadilan, musyawarah, toleransi, hak-hak dan kewajiban, amar maruf dan nahi anil mungkar, kejujuran, dan penegakan hukum. Selain itu, praktik politik Nabi Muhammad SAW juga bisamenjadi sunnah dalam penyelenggaraan pemerintahan Islam. Dua sumber itu, adalah dokumen yang menyajikan bagaimana Nabi dan Khulafa  al-Rasyidin melakukan politik pemerintahan di dalam sejarahIslam.

Sejarah Politik Masa Nabi SAW. dan Khulafa al-Râsyidîn
Sejarah politik Islam adalah sejarah dakwah, yakni menyebarkan amar maruf nahi anil munkar (menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Karena itu, pemerintahan Islam sejak dari masa Nabi Muhammad SAW di Madinah pada 622 M hingga Khulafa al-Râsyidîn yang berakhir pada sekitar 656 Mmerepresentasikan sebuah upaya penegakan kebajikan di muka bumi. Kepemimpinan Nabi Muhammad SAW adalah kepemimpinan moral yang sangat peduli pada perwujudan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Seperti dicatat dalam sejumlah riwayat, pemerintahan Nabi di Madinah adalah pemerintahan yang toleran.Dokumen tentang toleransi dapat dibaca dalam Piagam Madinah yang berintikan antara lain: penghormatan pada pemeluk agama yang berbeda, hidup bertetangga secara damai, kerja sama dalam keamanan, dan perlindungan bagi pihak-pihak yang teran iaya. Isi Piagam Madinah tersebut dicatat sebagai dokumen politik pertama dalam sejarah yang mengadopsi prinsip-prinsip toleransi. Selain itu, Piagam Madinah dilihat dari kacamata teori politik, dianggap memiliki gagasan-gagasan HAM modern meskipun lahir di masa pra-modern.
Pemerintahan Nabi di Madinah berhasil menyatukan suku-suku yang bertikai menjadi satu bangsa. Tidaklah mudah menyatukan suku-suku yang berkonflik ratusan tahun di sana. Tetapi dengan kekuatan integritas moral yang kuat seperti Nabi SAW., masalah konflik dapat diatasi. Maka lempanglah jalan bagi Nabi untukmelakukan pembangunan berdasarkan al-Quran sehingga terciptalah kesejahtraan rakyat. Menurut riwayat, tidak ada pemberontakan berarti selama Nabi memerintah di sana dari rakyatnya. Yang terjadi justru, ketaatan penuh rakyat pada kepemimpinan Nabi. Pernik-pernik konflik terjadi hanya dengan negara-negara tetanggayang takut kehilangan pengaruh kekuasaannya.
Jadi, selama Nabi Muhammad SAW menjadi pemimpin Negara Madinah, ia menjadi pemimpin yang adil dan menerapkan keagungan moral bagi rakyatnya. Itulah sebabnya Aisyah istri Nabi pernah mengatakan bahwaakhlaq Rasulullah adalah al-Quran. Al-Quran dan Sunnahnya menjadi undang-undang negara yang mengikat kaum Muslimin di sana. Sekalipun begitu, umat-umat lain juga dilindungi. Dalam Q. s., al-Ambiyâ/21:107 disebutkan yang artinya, Tidaklah Kami utus engkau selain menjadi rahmat bagi seluruhalam. Konsep rahmatan lilâlamîn adalah konsep toleransi di dalam Islam yang hingga sekarang sering dikutip sebagai teologi toleransi yang amat penting dalam relasi Islam dan negara .
Demikianlah, kepemimpinan Nabi adalah cermin moralitas dan teladan indah bagi umat Islam dan bahkan umat manusia. Nabi SAW adalah model ideal umat yang karir hidupnya dapat memunculkan kearifan-kearifan politik umat. Hingga wafatnya pada Juni 632 M, Nabi Muhammad SAW telah menjadi Nabi-Penguasa yang efektif atas sebagian besar semenanjung Arabia.
Pasca wafatn ya Nabi, pemerintahan Islam diteruskan oleh empat khalifah yang utama (Khulafa  al-Râsyid în), yakni Abu Bakar ra, Umar bin Khattab, Usman bin Affân, dan Ali bin Abin Thalib. Keempat khalifah tersebut menyelenggarakan pemerintahan Islam mendekati pemerintahan Nabi Muhammad SAW. Keadilan, penegakanhukum, musyawarah, dan egalitarianisme amat ditegakkan sehingga empat khalifah itu diberi gelar empat khalifah yang mendapat petunjuk. Meski ada riak-riak politik di dalam era keempat khalifah itu, tapi secara keseluruhan menampakkan gerak moral yang amat kosnsisten dan perluasan wilayah yang amat efektif ke luarJazirah Arabia. Selama tiga puluh tahun (30 tahun), keempat khalifah menampakkan sebuah pemerintahan politik Islam yang amat agung dan menjadi sejarah politik yang demokratis di dunia saat itu.
Pasca keempat khalifah, pemerintahan Islam mengalami pasang-surut. Demikian pula sejarah Islam mengalami kebangkitan dan keruntuhan. Dari sejarah itu, menunjukkan garis konstan bahwa pemerintahan yang mengedepankan moralitas akan memperoleh kejayaan dan sebaliknya. Karena itu, sejarah politik Islam adalah sejarah pasang-surut antara yang maruf dan yang mungkar. Umat Islam harus mengambil nilai-nilai dan prinsip-prinsip politik yang baik dan menjauhkan noda-noda hitamnya jika ingin sebuah pemerintahan itu tegak di muka bumi.

Nilai-Nilai Politik Dalam al-Quran
Namun perlu dicatat, al-Quran bukanlah kitab politik. hanya memberikan prinsip-prinsipnya saja dan bukan mengajari cara-cara berpolitik praktis. Dengan demikian, perhatian utama al-Qur'an adalah memberikan petunjuk yang benar kepada manusia, yaitu petunjuk yang akan membawanya kepada kebenaran dan suasana kehidupan yang baik. Sebagai kitab petunjuk, al-Qur'an mengarahkan manusia kepada hal-hal praktis. Ia memberi te kanan lebih atas amal perbuatan daripada gagasan. Bertolak dari sisi pandangan ini, maka iman barulah punya arti jika diikuti secara terpadu oleh perbuatan baik yang positif dan konstruktif.
Sebagai suatu petunjuk bagi manusia, al-Qur'an menyediakan suatu dasar yang kukuh dan tak berubah bagi semua prinsip-prinsip etik dan moral yang perlu bagi kehidupan ini. Menurut Muhammad Asad, al-Qur'an memberikan jawaban komprehensif untuk persoalan tingkah laku yang baik bagi manusia sebagai perorangan dan sebagai anggota masyarakat dalam rangka menciptakan suatu kehidupan yang berimbang di dunia ini dengan tujuan terakhir kebahagiaan di akhirat. al-Qur'an sendiri mengajarkan bahwa kehidupan di duniamerupakan prasyarat bagi kebahagiaan hidup yang akan datang seperti dinyatakan dalam al-Qur'an, Barang siapa buta di dunia ini, maka akan buta di akhirat, dan bahkan lebih sesat lagi perjalanannya (terj. Q.s., al-Ahzâb/17:72) Bagi seorang mukmin, al-Qur'an merupakan manifestasi terakhir bagi rahmat Allah swt. kepada manusia, di samping sebagai prinsip kebijaksanaan yang terakhir pula.
Jadi, jangan menjadikan al-Quran dan pemerintahan Nabi untuk instrumen politik. Tapi ambillah prinsip-prinsip etiknya dan sesuaikan dengan kondisi-kondisi sosial politik sehingga melahirkan suatu kombinasi moralitas Islam dan relevansi sosial politik. Wallâhu Alamu bil-Shawâb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar